Surah Al-Fatihah adalah permata awal dalam mushaf Al-Qur’an. Dikenal sebagai Ummul Kitab (Induk Kitab), ia tidak hanya membuka bacaan, tetapi juga membuka kesadaran: bahwa hidup seorang Muslim bertumpu pada tiga hal — pengakuan akan Tuhan, permohonan petunjuk, dan perjalanan menuju kebaikan.
Secara historis, mayoritas ulama bersepakat bahwa Al-Fatihah adalah surah Makkiyyah, diturunkan sebelum hijrah Nabi ke Madinah. Ia menjadi pondasi tauhid yang kuat di masa pembinaan awal umat Islam. Tak heran bila surah ini dijuluki juga sebagai As-Sab’ul Matsani (tujuh ayat yang diulang), karena menjadi bacaan wajib di setiap rakaat shalat.
Yang menarik, para ahli tafsir dari berbagai zaman memberikan pandangan yang begitu kaya. Ibnu Katsir menyuguhkan penjelasan Al-Fatihah melalui atsar sahabat dan hadis Nabi, menegaskan pentingnya tauhid dan ibadah murni. Imam al-Ghazali, dari sisi sufistik, memandang surah ini sebagai dialog ruhani antara hamba dan Tuhan. Sayyid Qutb dalam Fi Zhilalil Qur’an melihatnya sebagai fondasi nilai-nilai sosial dan spiritual dalam masyarakat. Sementara Quraish Shihab, melalui Tafsir al-Mishbah, mengaitkan makna ayat-ayatnya dengan kondisi psikologis dan sosial umat manusia modern.
Secara struktural, Al-Fatihah memuat tiga pilar utama ajaran Islam:
- Tauhid (Keimanan):
“Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin” dan “Ar-Rahman Ar-Rahim” menanamkan bahwa hidup ini dipimpin oleh Tuhan yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Ia adalah Rabb yang mengatur dan mendidik seluruh alam. - Akhirat (Pertanggungjawaban):
“Maliki yaumiddin” menyadarkan manusia akan adanya hari pembalasan. Ini menjadi pengingat untuk hidup dengan penuh tanggung jawab dan kejujuran. - Ibadah dan Doa (Penghambaan):
“Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in” adalah ikrar penghambaan yang eksklusif, hanya kepada Allah. Diikuti dengan “Ihdinas shiratal mustaqim” — permohonan paling hakiki seorang hamba: agar ditunjukkan jalan yang lurus.
Ayat terakhir Al-Fatihah menjadi filter moral: permohonan agar tidak tergolong dalam kelompok yang dimurkai (karena tahu kebenaran tapi menolak) atau kelompok yang sesat (karena beramal tanpa ilmu). Ini menjadi pesan penting bahwa keimanan harus diiringi dengan ilmu dan amal yang lurus.
Al-Fatihah juga menyimpan perbedaan qira’at yang sahih. Misalnya, perbedaan antara “Maliki” dan “Maaliki yaumiddin”, atau penghitungan basmalah sebagai ayat pertama (dalam qira’at Hafs) atau bukan (dalam qira’at Warsh). Namun seluruhnya diterima karena berasal dari Rasulullah SAW.
Pelajaran besar dari Al-Fatihah adalah tentang adab dalam berdoa. Ayat-ayat awal berisi pujian, baru kemudian permohonan. Ini adalah etika spiritual: bahwa menyadari keagungan Tuhan adalah awal dari kedekatan. Surah ini juga melatih kerendahan hati, membiasakan kita menggantungkan bimbingan kepada Allah, setiap hari, setiap rakaat, setiap langkah.
Di tengah kehidupan modern yang penuh kegelisahan dan arah yang sering kabur, Al-Fatihah hadir sebagai penunjuk arah. Ia mengajak kita tidak hanya membaca, tetapi menghayati: siapa diri kita, siapa Tuhan kita, dan ke mana arah perjalanan kita.
Menyelami Surah Al-Fatihah bukan sekadar menambah ilmu, tetapi membentuk ulang cara pandang terhadap hidup. Tujuh ayat itu cukup untuk menghidupkan hati yang kering, menuntun langkah yang bimbang, dan membentuk pribadi yang utuh: spiritual, sosial, dan intelektual.