Home ArtikelMenjadi Penerang dalam Gelapnya Konflik Sosial (Pelajaran dari QS. Fushilat : 33–35)

Menjadi Penerang dalam Gelapnya Konflik Sosial (Pelajaran dari QS. Fushilat : 33–35)

by zoneid
0 comments 15 views

Di tengah gempuran informasi, polarisasi opini, dan konflik sosial yang kian marak di dunia modern, ajaran Islam hadir bukan hanya sebagai tuntunan spiritual, tetapi juga solusi etik dan sosial yang abadi. Salah satu petunjuk luar biasa itu terekam dalam Al-Qur’an Surah Fushilat ayat 33 hingga 35, yang mengajarkan cara meredam permusuhan dan menebar kebaikan bahkan kepada mereka yang memusuhi kita.
“Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal saleh, dan berkata: ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri (Muslimin)’.” (QS. Fushilat: 33)
Ayat ini menggambarkan sosok ideal seorang Muslim: bukan hanya menyeru kepada kebaikan, tapi juga melakukannya, dan tidak malu menyatakan identitas keislamannya secara positif dan damai.

Kebaikan Tak Sama dengan Keburukan
Lebih lanjut, Allah berfirman: “Tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antara kamu dan dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (QS. Fushilat: 34)
Ayat ini sangat kontekstual dengan fenomena saling hujat di media sosial, pertengkaran antar kelompok, bahkan konflik internal dalam rumah tangga atau organisasi.
Allah mengajarkan sebuah prinsip peradaban: balaslah kejahatan dengan kebaikan. Bukan berarti menjadi lemah atau menyerah, tapi menunjukkan kekuatan karakter dan kendali diri. Inilah akhlak profetik, yang pernah dilakukan Rasulullah ﷺ saat menghadapi orang Quraisy, tetangga yang menyakiti, hingga masyarakat Thaif yang mengusir beliau.

Mengubah Musuh Jadi Sahabat
Kekuatan akhlak dan ketulusan dalam membalas keburukan dengan kebaikan terbukti dapat mencairkan permusuhan. Bahkan, dalam ayat tersebut digambarkan bahwa musuh bisa berubah menjadi “waliyyun ḥamīm”, yakni sahabat setia.
Di dunia modern, kita melihat contohnya pada aktivis perdamaian lintas iman, tokoh-tokoh masyarakat yang menahan diri dari provokasi, dan warga biasa yang memilih berdialog dibanding membalas dengan amarah.
Namun Allah menegaskan, akhlak seagung ini tidak mudah: “Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.” (QS. Fushilat: 35)

Kesabaran adalah Jalan Panjang Menuju Kemenangan
Kesabaran dalam menghadapi konflik sosial bukan bentuk kekalahan, melainkan pintu menuju kemenangan sejati. Mereka yang mampu bersabar dan tetap berlaku baik saat dihina, difitnah, atau diabaikan, akan mendapat keberuntungan besar—baik di dunia maupun akhirat.
Di era digital, di mana komentar pedas bisa menyulut kebencian, muslim yang mampu merespons dengan sabar dan bijak adalah lentera di tengah gelapnya amarah kolektif.

Saatnya Menjadi Teladan Akhlak
Islam tidak hanya mengajarkan teori kebaikan, tapi juga metode mengatasi keburukan secara elegan. QS. Fushilat: 33–35 mengajak kita menjadi bagian dari solusi—baik di media sosial, di tengah keluarga, masyarakat, maupun dunia kerja.
Mari kita menjadi Muslim yang tak hanya menyeru kepada kebaikan, tapi juga menjadi teladan akhlak mulia di tengah konflik. Sebab, seperti kata para ulama: “Keagungan Islam tidak hanya terlihat dari banyaknya pengikutnya, tetapi dari akhlak para pemeluknya dalam meredam kebencian dengan cinta.”

oleh : Redaksi ZonaDepok.Id

You may also like

Leave a Comment

Situs web ini menggunakan cookie untuk meningkatkan pengalaman Anda. Kami akan menganggap Anda setuju, tetapi Anda dapat memilih untuk tidak ikut serta jika diinginkan. Terima Baca Selengkapnya