“Wahai orang-orang yang beriman, berimanlah kalian kepada Allah dan Rasul-Nya…” (QS. An-Nisa: 136) Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar istilah “iman seseorang naik dan turun”, atau “imannya luar biasa seperti para wali”. Namun, pernahkah kita merenungkan bahwa ternyata iman itu bertingkat-tingkat? Para ulama, terutama dari kalangan ahli tasawuf dan ilmu tazkiyatun nafs, membagi iman ke dalam beberapa tingkatan berdasarkan kedalaman, keikhlasan, dan kemurnian hubungan seorang hamba dengan Allah SWT.
Berikut ini adalah lima tingkatan iman, disarikan dari khazanah ulama seperti Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, Ibnul Qayyim dalam Madarijus Salikin, dan Imam Al-Qusyairi dalam Risalah Qusyairiyah.
- Imannya Malaikat: Iman Tanpa Nafsu
Malaikat adalah makhluk yang taat mutlak kepada Allah, tidak memiliki hawa nafsu, dan tidak pernah membangkang. Iman mereka tidak naik-turun. Mereka tidak berbuat dosa, dan seluruh aktivitasnya adalah bentuk penghambaan.
“Mereka tidak pernah mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6)
Tingkatan iman ini adalah keimanan yang stabil, bersih dari ujian syahwat dan keraguan, hanya tunduk sepenuhnya kepada Allah. - Imannya Para Nabi dan Rasul: Iman Disertai Ilmu, Wahyu dan Ujian
Para nabi dan rasul memiliki iman yang kokoh, berpijak pada ilmu dan wahyu, serta diuji dengan ujian paling berat. Mereka bukan sekadar tahu secara akal, tapi juga merasakan dan menyaksikan kebenaran ilahiah. Mereka ma’shum (terjaga dari dosa) dan menjadi teladan sempurna dalam keimanan.
“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul sebelum kamu di antara umat-umat terdahulu.” (QS. Yasin: 30) Iman mereka bukan sekadar percaya, tapi menghidupkan wahyu dalam kehidupan nyata. - Imannya Para Wali: Iman Hasil Mujahadah dan Makrifat
Wali-wali Allah adalah hamba yang dekat dengan Allah karena ketaatan, keikhlasan, dan perjuangan melawan hawa nafsu. Mereka mencapai derajat yakin bukan hanya lewat ilmu, tapi juga lewat rasa (dzauq), riyadhah, dan pengalaman spiritual. “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada rasa takut pada mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.” (QS. Yunus: 62)
Iman para wali adalah iman haqqul yaqin, penuh kesadaran batin, ikhlas tanpa pamrih, hidup hanya untuk Allah. - Imannya Seorang Muslim Awam: Iman Taqlid dan Keyakinan Dasar
Mayoritas umat Islam berada pada tingkatan ini: beriman berdasarkan ajaran, didikan orang tua, dan pengetahuan dasar. Iman ini bisa naik dan turun tergantung kondisi hati, lingkungan, dan amal perbuatan. “Dan iman itu bertambah dengan ketaatan dan berkurang karena kemaksiatan.” (HR. Ahmad dan Al-Baihaqi)
Inilah iman yang terus diuji, masih bercampur dengan syahwat dan kelalaian, namun tetap menjadi pondasi untuk naik ke tingkatan yang lebih tinggi jika dibina dengan ilmu dan amal. - Iman yang Tertolak: Iman Palsu atau Munafik
Inilah tingkatan iman yang tidak diterima di sisi Allah, karena hanya tampak di lisan namun tidak ada dalam hati. Bisa jadi karena riya’, nifak (kemunafikan), atau tidak adanya pengakuan hakikat secara batin.
“Dan di antara manusia ada yang berkata: ‘Kami beriman kepada Allah dan hari akhir,’ padahal mereka sesungguhnya bukan orang-orang beriman.” (QS. Al-Baqarah: 8) Iman ini tertolak karena tidak dilandasi kejujuran niat dan tidak dibarengi amal salih.
Naikkan Derajat Iman Kita
Setiap kita bisa memilih jalan untuk memperdalam iman. Iman bukan sekadar keyakinan di lisan, tapi harus hidup dalam hati dan terwujud dalam amal. Dari iman taqlid menuju iman yakin, dari awam menuju kekasih Allah, adalah perjalanan yang panjang namun mulia. Mari kita tingkatkan iman dengan:
1. Memperbanyak ilmu agama
2. Menjaga amal salih secara konsisten
3. Bergaul dengan orang saleh
4. Memohon keteguhan iman dalam doa
“Ya Allah, tetapkanlah hatiku di atas agama-Mu.” (HR. Tirmidzi)