Depok – zonadepok.id | Dalam upaya memperkuat pondasi keimanan dan keteguhan ibadah umat, Majelis Taklim Baytul Ummat (MTBU) secara rutin menggelar kajian kitab yang membahas ilmu tauhid dan ilmu fiqih. Kajian ini dilaksanakan setiap minggu malam di Masjid Harti Aljatman, lingkungan RW 29, dengan semangat pemberdayaan sumber daya lokal sebagai penggerak dakwah.
Abdul Mutolib, Ketua Majelis Taklim Baytul Ummat, menjelaskan bahwa pengajian ini bertujuan untuk membekali jamaah dengan pemahaman yang benar tentang keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya, serta ketekunan dalam melaksanakan ibadah. “Kami meyakini bahwa untuk mencapai iman dan ibadah yang kokoh, tidak bisa hanya berdasarkan katanya atau taklid buta, harus ada ilmunya,” ujarnya.

Kajian kitab yang dilaksanakan saat ini masih berada pada tingkat dasar, namun menurut Abdul Mutolib, itu sudah cukup sebagai benteng awal dari derasnya tantangan zaman yang menguji aqidah dan ibadah umat Islam. “Kita ingin jamaah memahami dasar-dasar keyakinan dan tata cara ibadah yang benar, bukan sekadar mengikuti tradisi tanpa landasan,” tambahnya.
Yang menarik, Majelis Taklim Baytul Ummat tidak mendatangkan ustadz dari luar, melainkan memanfaatkan potensi guru dan dai yang ada di lingkungan sendiri. Dua nama yang saat ini aktif menjadi narasumber kajian kitab adalah Ustadz Syaiin Burnama dan Ustadz Fakhruddin, tokoh lokal yang memiliki kapasitas keilmuan yang mumpuni.
Menurut Abdul Mutolib, prinsip yang dipegang oleh MTBU sangat jelas: urusan agama, terutama yang berkaitan dengan aqidah dan ibadah, harus dibicarakan dan dilaksanakan berdasarkan ilmu dan pemahaman yang benar. Tidak boleh asal bicara atau asal menjalankan ritual.
Dalam pengamatan sederhana terhadap kehidupan keagamaan di lingkungan RW 29, Abdul Mutolib menyebut bahwa kesadaran umat terhadap agama masih perlu ditingkatkan. “Jika ukurannya adalah kehadiran salat berjamaah di masjid, dari sekitar 700 jiwa umat Islam dewasa di RW 29, yang hadir salat subuh berjamaah rata-rata hanya 86 orang, atau sekitar 12,3%. Ini bukan berarti mereka tidak salat, tetapi menunjukkan bahwa kesadaran berjamaah masih sangat rendah,” ungkapnya.
Kajian kitab ini diharapkan bisa menjadi pemantik semangat baru, tidak hanya dalam memperdalam ilmu agama, tetapi juga dalam meningkatkan partisipasi ibadah dan kepedulian sosial di lingkungan sekitar. “Minimal, kita ingin lingkungan ini hidup dengan semangat keislaman yang sehat, saling menasihati, dan tumbuh bersama dalam kebaikan,” tutup Abdul Mutolib.
Semoga ikhtiar Majelis Taklim Baytul Ummat ini menjadi bagian dari gerakan membangkitkan kesadaran umat, bahwa ilmu adalah cahaya, dan ibadah yang benar harus dibangun di atas ilmu. Dari lingkungan kecil inilah harapan besar itu kita mulai.