Kisah Mbahim, Petani Milenial dari Tapos yang Menginspirasi
Depok, Zonadepok.id — Di tengah gemerlapnya era digital dan derasnya arus pekerjaan bergengsi di kota, ada satu sosok pemuda yang memilih jalan berbeda. Ia adalah Ibrahim Aditya Putra, atau lebih akrab disapa Mbahim, warga Kelurahan Cilangkap, Kecamatan Tapos, Kota Depok. Meski lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan sempat bekerja di perusahaan industri farmasi, Mbahim tak ragu meninggalkan zona nyaman demi mengejar panggilan hati: menjadi petani.
Tahun 2020, saat pandemi COVID-19 mengguncang tanah air, Mbahim memutuskan untuk mengakhiri kariernya di perusahaan dan mulai menekuni dunia pertanian. Ketertarikannya bercocok tanam ternyata bukan tanpa sebab. “Mungkin karena kakek saya juga petani,” ungkapnya. Sejak saat itu, ia mulai belajar secara otodidak mengenali berbagai jenis tanaman, terutama sayuran, dan menjadikan pertanian sebagai penopang ekonomi keluarganya.
Seiring waktu, semangatnya semakin menyala. Ia aktif mengikuti pelatihan, baik daring maupun luring, yang diselenggarakan oleh Kementerian Pertanian. Lewat pelatihan itu, ia mengantongi berbagai sertifikat yang memperkaya ilmunya tentang teknik bertani yang baik dan berkelanjutan. “Semakin digeluti, semakin terasa berkahnya,” kata Mbahim mantap.
Meski tak memiliki lahan sendiri, Mbahim tak menyerah. Ia bersama beberapa petani muda lainnya menggarap lahan-lahan tidur yang dipinjamkan oleh pemiliknya dengan sistem bagi hasil. Inisiatif ini menunjukkan bahwa keterbatasan bukanlah alasan untuk berhenti bergerak.
Berbekal semangat dan jejaring di media sosial, Mbahim pun berkenalan dengan Camat Tapos, yang kemudian mengajaknya bergabung dalam kegiatan pelatihan pertanian yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kecamatan Tapos. Tak hanya itu, ia juga bergabung dalam organisasi Kontak Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) yang menjadi wadah berkumpulnya para petani.
Lewat KTNA, ia dan rekan-rekannya aktif menyuarakan pentingnya menjaga eksistensi pertanian di Kota Depok, khususnya di wilayah Tapos. “Lahan memang makin sempit, tapi lahan tidur masih banyak. Itu bisa kita manfaatkan,” jelasnya. Ia juga menyoroti pentingnya edukasi bagi generasi muda, agar mereka tahu bahwa padi yang mereka konsumsi tidak datang dari supermarket, melainkan dari sawah yang masih ada di kampung mereka.
Sebagai petani milenial, Mbahim juga aktif mempromosikan konsep urban farming, atau pertanian perkotaan. Menurutnya, bertani tak harus di lahan luas. Dengan teknik hidroponik, green house, hingga vertical farming, semua orang bisa bertani meskipun di lahan sempit. “Urban farming jadi solusi di tengah minimnya lahan. Kita bisa bertani di pekarangan rumah, bahkan di atap rumah sekalipun,” katanya.
Ia menyadari bahwa tantangan terbesar bagi petani muda adalah stigma. Banyak anak muda yang lebih memilih bekerja di kantor daripada turun ke sawah. Namun bagi Mbahim, bertani justru profesi yang mulia. “Saya tidak malu jadi petani, malah bangga. Karena kami ikut menyediakan pangan untuk masyarakat, meskipun dalam skala kecil,” tuturnya dengan penuh semangat.
Dalam usahanya, Mbahim juga menjalin komunikasi intensif dengan penyuluh pertanian dari Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian dan Perikanan (DKP3) Kota Depok. Diskusi seputar teknik tanam, penggunaan pupuk, dan tantangan pertanian menjadi bagian dari aktivitas rutinnya. “Penyuluh itu semacam vitamin bagi kami. Memberi semangat dan pengetahuan baru,” ujarnya.
Di akhir kisahnya, Mbahim berpesan kepada para pemuda, khususnya yang belum memiliki pekerjaan. “Bertani bisa menjadi solusi. Kalau punya lahan, manfaatkan. Kalau belum punya, bisa mulai dari kecil-kecilan. Jangan malu jadi petani, ini profesi mulia,” pesannya.
Ia juga berharap kepada Pemerintah Kota Depok agar terus menghadirkan program pertanian yang berkelanjutan, terutama dengan menyediakan akses lahan tidur bagi para petani yang belum memiliki lahan. “Kalau lahan dimanfaatkan, produksi meningkat, petani pun sejahtera,” tutupnya.