oleh : Petugas Haji Daerah (PHD) Kota Depok 2024
Musim haji tahun 2024 merupakan anugerah dan berkah luar biasa bagi saya. Mengapa demikian? Karena tanpa menunggu lama, kami dapat berangkat memenuhi panggilan Allah Swt:
“Labaik Allahumma Labaik” — Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah.
Hal ini tentu tak lepas dari peran baik Pemerintah Kota Depok, doa yang dikabulkan, dan yang paling utama adalah takdir serta panggilan Allah Swt. Kita meyakini bahwa tidak ada satu pun yang mampu memberi atau menghalangi jika Allah telah berkehendak.
Menjadi Petugas Haji Daerah (PHD) bukan perkara mudah. Ada sejumlah tahapan yang harus dilalui, mulai dari kelengkapan administrasi, seleksi berbasis CAT, penguasaan regulasi dan manasik haji, hingga pemenuhan syarat istithaah kesehatan. Setelah itu, peserta harus mengikuti pelatihan intensif selama 10–12 hari yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama.
Fokus utama pelatihan ini adalah pembinaan, pelayanan, dan perlindungan jamaah haji Indonesia di Tanah Suci. Tagline haji tahun 2024 adalah “Haji Ramah Lansia”, sementara untuk petugas haji, taglinenya adalah: “Ibadah untuk bertugas, bukan bertugas untuk ibadah.”
Mayoritas jamaah haji Indonesia melaksanakan haji tamattu’, yaitu mendahulukan umrah sebelum haji. Karena itu, mereka wajib membayar dam berupa penyembelihan seekor kambing.
Jenis haji ini sering disebut sebagai “haji dengan sukacita”, karena memberi ruang lebih untuk beribadah dalam suasana tenang dan bertahap.
Namun demikian, ibadah haji menuntut istithaah, terutama dalam hal kesehatan. Kekuatan fisik menjadi sangat penting karena seluruh rangkaian ibadah haji sangat mengandalkan stamina prima—selain tentunya kesiapan finansial. Yang tak kalah penting adalah kesabaran pribadi, rasa kebersamaan, dan kepedulian antarsesama jamaah. Sikap individualistik atau ananiyah harus ditinggalkan, digantikan dengan semangat kebersamaan atau nahniyah. Jamaah harus saling bantu dan peduli satu sama lain, apalagi mengingat pelaksanaan haji berlangsung di negeri orang, bersama jutaan muslim dari seluruh dunia.
Kapan Fisik Mulai Diuji?
Sejak keberangkatan dari rumah ke embarkasi, fisik mulai diuji. Transit di embarkasi, menunggu di bandara, perjalanan udara hingga 9 jam, dan dilanjutkan perjalanan ke hotel di Tanah Suci—semuanya menuntut kekuatan fisik yang tidak sedikit.
Di Madinah (untuk Gelombang 1), selama 8–9 hari jamaah harus beradaptasi dengan suhu panas yang jauh berbeda dengan Indonesia. Jamaah lanjut usia (lansia) mulai merasakan kelelahan, sementara jamaah dengan penyakit bawaan (resti) mulai menunjukkan gejala.
Sebagian besar berupaya menuntaskan arbain—salat berjamaah 40 waktu berturut-turut di Masjid Nabawi—yang berarti bolak-balik hotel-masjid. Aktivitas ini, ditambah dengan city tour, belanja, antrian ke Raudhah, dan lainnya, membuat fisik semakin terkuras.
Apa yang sebaiknya dilakukan jamaah dalam kondisi ini?
Petugas kesehatan tersedia 24 jam dan siap melayani. Jamaah sebaiknya rutin memeriksakan tekanan darah, segera melapor bila mulai batuk atau merasakan gejala lain, baik ke petugas kesehatan langsung maupun melalui ketua rombongan (karom), ketua regu (karu), atau petugas kloter. Jamaah yang sehat pun diimbau untuk saling mendukung, membantu, dan mengingatkan satu sama lain.
Ketahanan Fisik di Mekah
Setibanya di Mekah, kebutuhan akan kondisi fisik yang prima semakin terasa. Sesampainya dari Madinah, jamaah langsung melaksanakan umrah qudum, karena mereka telah berihram dan mengambil miqat di Bir Ali. Aktivitas mondar-mandir dari hotel ke Masjidil Haram memerlukan tenaga ekstra. Bahkan untuk sekadar mendapatkan tempat salat di Masjidil Haram, terkadang harus berdesak-desakan. Bagi jamaah dengan fisik kuat, banyak yang melakukan umrah sunnah atau tawaf sunnah berkali-kali. Namun jika fisik melemah, jamaah biasanya lebih memilih beribadah di hotel sambil menunggu fase puncak haji.
Puncak Ibadah: Armuzna
Memasuki fase Armuzna (Arafah, Muzdalifah, Mina) selama 5 hari, ketahanan fisik menjadi sangat penting. Meskipun sebagian amalan dapat diwakilkan (dibadalkan), wukuf di Arafah wajib dihadiri langsung oleh setiap jamaah.
Di Arafah, jamaah berada dalam tenda yang padat di bawah terik matahari. Setelah itu, mereka mabit di Muzdalifah, juga dalam kondisi berdesakan. Kemudian berlanjut ke Mina, dengan aktivitas seperti tinggal di tenda padat, melontar jumrah Aqabah, Ula, dan Wustha, serta ditutup dengan tawaf ifadah. Seluruh rangkaian tersebut menuntut stamina dan kekuatan tubuh yang luar biasa.
Untuk itu, jamaah sebaiknya::(1) Rutin memeriksakan kesehatan,(2) Mengonsumsi suplemen dan cukup minum,(3) Menjaga pola makan dan istirahat, (4) Menumbuhkan keyakinan kepada Allah, (5) Menguatkan kesabaran, kepedulian, dan (6) kerja sama dengan sesama jamaah. Semua unsur tersebut—baik fisik maupun batin—adalah bekal penting dalam meraih haji yang mabrur.
Wallahu a’lam.
Mina, 17 Juni 2024