Home ArtikelDoa dan Tahlil Pengiring Kematian di Kalangan Umat Islam

Doa dan Tahlil Pengiring Kematian di Kalangan Umat Islam

by zoneid
0 comments 5 views

Pendahuluan

Setiap manusia pasti akan menghadapi kematian. Dalam Islam, kematian bukanlah akhir, melainkan pintu menuju kehidupan yang kekal. Oleh karena itu, umat Islam diajarkan untuk memuliakan proses kematian, mulai dari memandikan jenazah, mengafani, menshalatkan, hingga menguburkan. Namun di berbagai wilayah, termasuk di kampung-kampung Nusantara, terdapat pula tradisi tahlil dan doa bersama bagi almarhum pada malam-malam tertentu: malam pertama hingga ketujuh, malam ke-40, ke-100, bahkan haul (peringatan tahunan).

Tradisi ini menimbulkan pertanyaan: apakah ini ada dalam ajaran Rasulullah? Apakah para sahabat dan ulama salaf pernah mengamalkannya? Dan bagaimana pandangan agama terhadapnya?

Asal-Usul dan Akar Sejarah Tahlil

Tahlil dalam konteks ini adalah pembacaan kalimat tauhid (Lā ilāha illā Allāh), zikir-zikir, surat-surat Al-Qur’an seperti Yasin, Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Nas, Al-Fatihah, doa-doa ampunan, dan pujian kepada Allah, yang diniatkan sebagai doa dan hadiah pahala kepada almarhum.

Secara historis, Rasulullah ﷺ dan para sahabat tidak secara spesifik menjadwalkan doa pada hari ke-3, 7, 40, dan 100 seperti yang umum di masyarakat kita. Namun doa untuk mayit sendiri dianjurkan dalam banyak hadits dan ijma’ ulama.

Contoh: “Apabila seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim no. 1631)

Dalam kitab al-Adzkar karya Imam Nawawi, disebutkan bahwa mendoakan orang yang sudah wafat adalah amalan sunnah dan berpahala, terutama bila dilakukan oleh anak-anak atau kaum Muslimin.

Pandangan Ulama

  1. Imam Asy-Syafi’i dan Ulama Mazhab Syafi’i
    Membolehkan pembacaan Al-Qur’an dan doa yang dihadiahkan untuk mayit. Meski sebagian ulama berpendapat pahala bacaan tidak sampai, mayoritas ulama Syafi’iyah menyatakan pahalanya sampai kepada mayit jika diniatkan.
  2. Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menekankan pentingnya memperbanyak doa untuk orang tua yang sudah wafat, baik secara pribadi maupun berjamaah.
  3. Ibnu Qayyim al-Jauziyah, murid Ibnu Taimiyah, dalam kitab ar-Ruh, menyampaikan bahwa ruh orang mati bisa merasakan doa dari orang yang hidup dan bahagia ketika keluarganya mendoakan.
  4. Ulama Nahdlatul Ulama (NU), seperti KH. Hasyim Asy’ari, memandang tahlil sebagai wasilah (sarana) untuk mendoakan mayit dan mempererat silaturahmi antar warga.
  5. Ulama Muhammadiyah pada umumnya tidak mengamalkan tahlil berjadwal, karena tidak terdapat dalil khusus tentangnya dari Nabi. Namun Muhammadiyah tetap menganjurkan doa untuk mayit dan tidak melarang secara mutlak selama tidak mengandung unsur bid’ah syar’iyyah seperti keyakinan wajib atau mengandung takhayul.

Dampak Positif Tradisi Tahlil

Walaupun penjadwalan seperti malam ke-7, 40, dan 100 tidak memiliki dalil langsung, tradisi tahlil memberi manfaat sosial dan spiritual, di antaranya:

  • Menguatkan tali silaturahmi antar warga.
  • Menjadi media dakwah dan pengingat kematian.
  • Mendorong sedekah dan amal jariyah atas nama almarhum.
  • Memberi ketenangan bagi keluarga yang ditinggalkan.
  • Menumbuhkan rasa peduli dan empati terhadap keluarga duka.

Bijak dalam Tradisi

Sebagai umat Islam, kita hendaknya bijak memandang perbedaan. Tradisi tahlil adalah bentuk ta’awun (tolong-menolong) dalam kebaikan. Selama tidak diyakini sebagai ibadah yang wajib dan tidak mengandung unsur syirik atau maksiat, maka ia termasuk bagian dari uruf (kebiasaan) yang baik dan diterima syariat sebagaimana kaidah: “Al-‘Adah Muhakkamah” – Adat kebiasaan bisa menjadi dasar hukum bila tidak bertentangan dengan syariat.

You may also like

Leave a Comment

Situs web ini menggunakan cookie untuk meningkatkan pengalaman Anda. Kami akan menganggap Anda setuju, tetapi Anda dapat memilih untuk tidak ikut serta jika diinginkan. Terima Baca Selengkapnya