1. Ayat dan Terjemahan
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انظُرْنَا وَاسْمَعُوا ۗ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengatakan (kepada Nabi Muhammad), ‘Rā‘inā’ tetapi katakanlah, ‘Unzhurnā’, dan dengarkanlah. Dan bagi orang-orang kafir ada azab yang pedih.” (QS. Al-Baqarah: 104)
2. Asbābul Nuzūl (Sebab Turunnya Ayat)
Menurut riwayat Ibnu Abbas, ayat ini turun untuk meluruskan kebiasaan sebagian sahabat yang menggunakan kata “Rā‘inā” ketika berbicara kepada Rasulullah saw. Secara bahasa Arab, Rā‘inā berarti “perhatikanlah kami” atau “tunggulah kami”. Namun, dalam bahasa Yahudi (Ibrani) atau dialek mereka, kata ini memiliki makna ejekan atau penghinaan.
Orang-orang Yahudi di Madinah sengaja menggunakan kata tersebut untuk menghina Nabi, sambil berpura-pura mengikuti percakapan biasa. Maka Allah menurunkan larangan ini, memerintahkan mengganti dengan kata yang jelas dan bersih dari makna buruk: Unzhurnā (“lihatlah kami” atau “berilah perhatian kepada kami”).
3. Hikmah yang Dapat Diambil
Menjaga kebersihan lisan – Ucapan yang memiliki makna ganda dan berpotensi disalahartikan sebaiknya dihindari.
Peka terhadap konteks bahasa – Kata yang baik di satu tempat bisa jadi buruk di tempat lain. Islam mengajarkan sensitif terhadap makna dan budaya. Menghindari peluang fitnah – Tidak memberi celah kepada orang yang berniat buruk untuk memelintir ucapan kita.
Menghormati pemimpin dan guru – Dalam komunikasi, pilihan kata menunjukkan adab terhadap orang yang kita hormati.
4. Korelasi dengan Kehidupan Zaman Sekarang
Meski peristiwa ini terjadi di masa Nabi saw, pesan moralnya tetap relevan:
Era Media Sosial: Komentar atau status yang ambigu bisa dipelintir menjadi ujaran kebencian atau fitnah. Pilih kata yang jelas dan santun.
Interaksi Multikultural: Di dunia global, satu kata bisa bermakna positif di satu bahasa, namun negatif di bahasa lain. Penting mempelajari konteks.
Komunikasi Publik: Seorang Muslim diajarkan berpikir sebelum berbicara atau menulis, agar pesan tidak menimbulkan salah paham.
Etika Digital: Hindari kata kasar, sarkasme, atau singkatan yang mengandung konotasi buruk, meskipun populer.
5. Penutup
Ayat Alquran di atas mengajarkan bahwa lisan adalah cermin hati. Menjaga kata bukan sekadar adab, tetapi bagian dari iman. Seperti sabda Rasulullah saw : “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari & Muslim)
Menjaga lisan berarti menjaga kehormatan diri, menjaga ukhuwah, dan menjaga marwah Islam di mata dunia.