Catatan Kajian Ahad Pagi Masjid Jami Daaruttaqwa oleh : Bapak KH. Zayadi Amin, Lc
Di tengah derasnya arus zaman yang membawa manusia pada gemerlap dunia dan krisis makna, Al-Qur’an tetap hadir sebagai petunjuk yang tidak lekang oleh waktu. Surah Al-Baqarah ayat 21–24 bukan sekadar ayat yang tertulis di mushaf, tetapi seruan ilahi yang menggema untuk setiap hati yang mencari kebenaran. Ayat-ayat ini membentuk narasi utuh: panggilan untuk beribadah, pengenalan atas tanda-tanda kekuasaan Allah, tantangan terhadap keraguan, dan peringatan atas penolakan wahyu. Mari kita renungi dan implementasikan nilai-nilainya dalam kehidupan kita hari ini.
Menjawab Seruan Universal Allah (Ayat 21)
“Wahai manusia! Sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” Seruan ini tidak hanya ditujukan kepada kaum Muslimin, melainkan kepada seluruh umat manusia. Ia memanggil dengan kasih sayang, bukan dengan paksaan. Dalam tafsir al-Qurtubi dan al-Mishbah, dijelaskan bahwa ibadah kepada Allah lahir dari kesadaran akan penciptaan kita dari ketiadaan. Maka, manusia yang menyadari asal-usulnya akan terdorong untuk mengabdi dan hidup dalam ketakwaan.
Dalam konteks kekinian, seruan ini menjadi sangat relevan. Ketika manusia terjebak dalam kesibukan duniawi dan alienasi spiritual, panggilan untuk menyembah Tuhan adalah panggilan untuk kembali kepada fitrah. Ibadah bukan sekadar ritual, tapi juga aktualisasi nilai-nilai ilahiah dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya.
Mengenali Tanda Kekuasaan Allah dalam Alam (Ayat 22)
Allah mengingatkan bahwa Dia menjadikan bumi sebagai hamparan, langit sebagai atap, menurunkan hujan dan mengeluarkan buah-buahan sebagai rezeki. Tafsir Ma’ariful Quran menekankan bahwa ini adalah argumen ketuhanan yang kuat. Dalam dunia yang semakin mengalami degradasi lingkungan dan krisis iklim, ayat ini menjadi seruan ekologis untuk merawat ciptaan Tuhan.
Bagi kita yang hidup di era industri dan digitalisasi, sangat mudah melupakan bahwa rezeki kita sejatinya berasal dari bumi dan langit—bukan dari sistem keuangan atau teknologi semata. Maka, mengelola alam dengan bijak adalah bagian dari penghambaan kita kepada Allah.
Tantangan terhadap Keraguan (Ayat 23)
“Jika kamu meragukan apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami, maka buatlah satu surat seperti ini…” Ini adalah tantangan ilahi terhadap siapapun yang meragukan kebenaran Al-Qur’an. Dalam tafsir al-Qurtubi, tantangan ini tidak sekadar membuktikan keotentikan wahyu, tapi juga menunjukkan bahwa Al-Qur’an adalah mukjizat yang tak tertandingi hingga akhir zaman.
Di era informasi dan sains, keraguan sering kali dianggap sebagai bentuk kecerdasan. Namun Al-Qur’an mengajarkan bahwa keraguan yang tidak disertai pencarian kebenaran hanyalah kesombongan. Tantangan Allah ini membuka ruang dialog bagi siapapun yang jujur mencari kebenaran.
Peringatan atas Penolakan Wahyu (Ayat 24)
“Jika kamu tidak mampu (dan pasti tidak akan mampu), maka takutlah kalian pada neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu…” Peringatan ini bukan intimidasi, melainkan bentuk kasih sayang Allah agar manusia tidak terjerumus dalam kesesatan. Dalam tafsir klasik, “batu” ditafsirkan sebagai berhala yang disembah, menunjukkan bahwa segala bentuk kemusyrikan akan menjadi bahan bakar neraka.
Pesan ini sangat kuat untuk kita yang hidup di zaman relativisme moral. Menolak wahyu bukan hanya menolak kata-kata, tapi juga menolak arah hidup. Maka, memperingatkan diri dan sesama tentang konsekuensi penolakan ini adalah bagian dari tanggung jawab dakwah kita.
Menghidupkan Pesan dalam Kehidupan Nyata
Ayat 21–24 Surah Al-Baqarah bukan hanya untuk dibaca, tapi untuk dihidupkan. Ia menuntun kita untuk menyembah dengan sadar, mengenali tanda-tanda kekuasaan Allah di sekitar, bersikap terbuka terhadap kebenaran, dan menjauhi penolakan yang membawa pada kehancuran.
Di era media sosial, kita bisa menyampaikan pesan ini melalui konten yang menyentuh hati. Di ruang publik, kita bisa mencontohkannya melalui akhlak dan kepedulian. Mari jadikan Al-Qur’an bukan hanya bacaan, tapi jalan hidup.
Semoga kita termasuk hamba yang menyambut seruan-Nya, merenungi ayat-ayat-Nya, dan mengajak yang lain dalam kebaikan. Karena pada akhirnya, keselamatan hanya ada pada mereka yang mendengar seruan dan menjawabnya dengan ketundukan dan cinta.
Wallahua’lam