Home Ceramah & KajianBerhaji, Bisakah Bergantian Antar Negara Berpenduduk Muslim?

Berhaji, Bisakah Bergantian Antar Negara Berpenduduk Muslim?

by zoneid
0 comments 6 views

Ibadah haji adalah rukun Islam kelima, kewajiban sekali seumur hidup bagi setiap Muslim yang memenuhi syarat istitha’ah (kemampuan), sebagaimana firman Allah Swt:

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Ali Imran: 97)

Namun, dalam praktiknya, kita saksikan fenomena ketimpangan: ada umat Muslim yang bisa berhaji berkali-kali karena kelebihan finansial, sementara banyak lainnya harus menunggu bertahun-tahun bahkan puluhan tahun.
Lebih tragis lagi, ribuan umat Muslim yang mencoba menunaikan haji di luar kuota resmi (disebut sebagai “jamaah haji ilegal”) justru diperlakukan semena-mena di tanah suci.

Bagaimana Islam Mengatur Ibadah Haji?

Islam memandang haji sebagai ibadah yang sangat sakral. Ada prinsip yang jelas:

  1. Haji wajib sekali seumur hidup bagi yang mampu — tidak dianjurkan bagi yang telah berhaji untuk “mengulangi” kecuali ada kemaslahatan yang kuat (misalnya sebagai pembimbing).
  2. Prinsip keadilan dan pemerataan kesempatan:
    • Rasulullah saw bersabda:
      “Wahai manusia! Allah telah mewajibkan haji atas kalian, maka berhajilah kalian.” (HR. Muslim)
      Hadis ini tidak menunjukkan anjuran untuk berhaji berulang-ulang bagi yang telah menunaikannya.
  3. Ulama juga memandang bahwa mengambil jatah kuota berulang-ulang sementara banyak saudara Muslim lain belum berhaji, tidak mencerminkan keadilan sosial dalam beribadah.

Apa Tugas Pemerintah Arab Saudi?

Sebagai negara pengelola Tanah Haram dan pelaksana pelayanan jamaah haji, pemerintah Arab Saudi memiliki amanah besar:

  • Menyediakan fasilitas yang layak untuk jutaan jamaah.
  • Menjaga keamanan dan ketertiban.
  • Mengelola kuota per negara dengan adil dan transparan.

Prinsip pengelolaan haji tidak boleh mengabaikan nilai-nilai syariat Islam seperti:

  • Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama Muslim).
  • Kemuliaan tamu Allah — para jamaah haji, apapun status administratifnya, adalah tamu Allah yang harus dihormati.

“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tamunya.” (HR. Bukhari-Muslim)

Memperketat administrasi memang bagian dari pengaturan teknis, tetapi memperlakukan jamaah secara tidak manusiawi dan melanggar adab syariat adalah pelanggaran terhadap amanah suci.

Mengapa Ada Pembatasan yang Terlihat Memberatkan?

Ada beberapa faktor:

  1. Kapasitas terbatas:
    • Area Masjidil Haram, Mina, Arafah, Muzdalifah memang tidak sanggup menampung seluruh umat Islam di dunia jika datang sekaligus.
    • Karena itu, disepakati sistem kuota per negara.
  2. Pertimbangan keamanan dan manajemen:
    • Mengatur jutaan manusia dalam satu waktu memerlukan perencanaan yang ketat.

Namun, yang menjadi masalah etis adalah ketika:

  • Orang yang sudah berhaji berkali-kali tetap diberi kesempatan, sementara pemula terabaikan.
  • Orang yang tidak mampu secara administrasi (karena kuota negara penuh) dianggap “ilegal” dan diperlakukan tidak manusiawi.

Ini bukan masalah hukum Islam, melainkan praktik kebijakan manusia yang tidak selaras dengan semangat keadilan Islam.

Bagaimana Seharusnya Jamaah “Ilegal” Diperlakukan?

Dalam prinsip Islam:

  • Tidak boleh ada perlakuan zalim kepada saudara seiman, apalagi dalam konteks ibadah.
  • Bila ada pelanggaran administratif, penyelesaiannya harus dilakukan dengan cara yang beradab.

Menggiring jamaah ke tempat asing, tanpa kemanusiaan, adalah bertentangan dengan syariat.

“Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya. Tidak boleh menzaliminya dan tidak boleh membiarkannya dizalimi.” (HR. Bukhari-Muslim)

Bisakah Berhaji Bergantian antar Negara Muslim?

Gagasan ini justru sangat sejalan dengan prinsip keadilan Islam:

  • Negara-negara Muslim seharusnya bersinergi dan saling membantu agar warganya punya kesempatan adil berhaji.
  • Mekanisme pengaturan giliran (rotation) bisa dipikirkan agar:
    • Mereka yang belum pernah haji diprioritaskan.
    • Jamaah yang sudah berhaji beberapa kali memberikan kesempatan bagi yang lain.
  • Pemerintah negara Muslim bisa bekerjasama dengan Arab Saudi dalam mendorong reformasi manajemen haji berbasis keadilan.

Sebagai penutup dari artikel ini bahwa Haji adalah ibadah sakral, bukan hanya urusan administratif atau komersial. Mengelolanya butuh hikmah, adil, dan memuliakan tamu Allah. Praktik pengelolaan yang tidak sesuai dengan ruh syariat harus terus dikritisi dengan suara yang bijak dan berbasis ilmu. Maka sudah saatnya negara-negara Muslim mendorong model pengaturan haji yang lebih adil, termasuk gagasan bergiliran agar umat Islam sedunia merasakan indahnya berhaji. Semoga ke depan, pengalaman pahit jamaah “ilegal” tidak terulang kembali, dan Tanah Haram benar-benar menjadi tempat persaudaraan umat, bukan hanya ajang administrasi semata.

You may also like

Leave a Comment

Situs web ini menggunakan cookie untuk meningkatkan pengalaman Anda. Kami akan menganggap Anda setuju, tetapi Anda dapat memilih untuk tidak ikut serta jika diinginkan. Terima Baca Selengkapnya